Monday 20 May 2013

Toilet Duduk vs Toilet Jongkok



Oleh : dr. Salma Oktaria

Klikdokter.com - Dewasa ini, banyak orang lebih memilih menggunakan toilet duduk dibandingkan toilet jongkok. Sengaja berlama-lama duduk di toilet sambil membaca surat kabar pagi hari bukan lagi kebiasaan yang aneh untuk dilakukan. Namun seperti halnya kebiasaan lain, kebiasaan membaca dalam toilet juga memiliki dampak yang tidak baik, terutama kaitannya dengan kesehatan.


Mungkin banyak di antara Anda yang telah mengetahui kaitan antara kebiasaan mengejan dengan pembentukan hemorrhoid atau wasir. Namun tahukah Anda bahwa postur tubuh saat di toilet ternyata juga merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi?

Secara definisi, hemorrhoid atau wasir adalah pembengkakan dan peradangan pada pembuluh darah balik (vena) pada daerah rektum atau anus. Kondisi ini tergolong jarang ditemukan di sebagian besar wilayah Asia, Timur Tengah dan Afrika. Namun sebaliknya, kondisi ini justru sering ditemukan di negara-negara Barat. Di Amerika misalnya, sekitar setengah dari populasi akan mengalami hemorrhoid sebelum mencapai usia 50 tahun. Mengenai hal ini, banyak peneliti yang berpendapat bahwa rendahnya insiden hemorrhoid di negara-negara berkembang adalah terutama terkait dengan konsumsi bahan makanan tinggi serat. Akan tetapi hal ini masih belum dapat dibuktikan melalui penelitian, mengingat beragamnya bahan makanan yang tersedia saat ini, yang jenis dan jumlah konsumsinya tidak selalu sama.

Setelah ditelaah lebih lanjut, ternyata perbedaan insiden hemorrhoid tersebut terjadi bukan tanpa alasan, yaitu terkait dengan penggunaan toilet duduk. Pada toilet ini, pengguna akan dipaksa mengejan untuk mendorong gerakan usus. Kebiasaan mengejan dapat meningkatkan tekanan dalam perut dan merupakan salah satu faktor yang mendasari terbentuknya hemorrhoid.

Hal ini secara tidak langsung telah menjelaskan mengapa insiden hemorrhoid hampir tidak pernah ditemukan pada populasi Asia, Afrika, dan Timur Tengah, di mana kebanyakan dari para penduduknya masih menggunakan toilet jongkok untuk memenuhi panggilan alam mereka. Studi yang dilakukan oleh Dr. B. A. Sikirov pada tahun 1987 telah membuktikan kebenaran hipotesa ini. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa hemorrhoid adalah sebuah hasil dari proses iritasi yang berkesinambungan akibat kebiasaan mengejan berlebihan dalam posisi duduk. Atau dengan kata lain, kebiasaan duduk yang terlalu lama dalam toilet merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan hemorrhoid yang tidak boleh dianggap remeh.

Mengapa demikian?
Saat posisi duduk, usus bagian bawah akan tertekuk sehingga proses pembuangan tidak dapat berlangsung efektif tanpa bantuan mengejan. Padahal, mengejan dan dorongan ke bawah sambil menahan napas akan meningkatkan tekanan dalam usus bagian bawah serta menyebabkan regangan dan pembengkakan pembuluh darah balik membentukhemorrhoid, terutama jika kebiasaan ini dilakukan secara kontinu dalam jangka lama.



Sebenarnya terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait perkembangan hemorrhoid ini, yaitu peningkatan konsumsi air, sayur dan buah-buahan, asupan suplemen serat (bila perlu), berolahraga, menghindari kebiasaan duduk atau berdiri terlalu lama, tidak mengejan, dsb. Namun tidak satu sumberpun yang memasukkan postur toilet ke dalam poin-poin tersebut. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap hal tersebut adalah penting. Namun bukankah sangat tragis mengetahui bahwa meski penelitian tersebut telah dilakukan lebih dari 20 tahun lalu, masih banyak orang yang tidak waspada dan menyadari akibat dari penggunaan toilet duduk ini.

Sekarang, dengan memahami kaitan antara postur toilet dan insiden hemorrhoid Anda dapat memiliki lebih banyak pengetahuan mengenai metoda efektif menghindari hemorrhoid. Apakah kemudian Anda akan merubah ataupun tetap pada kebiasaan Anda? Pilihan sepenuhnya berada di tangan Anda

Tuesday 14 May 2013

Kebijakan Gula Indonesia


PERMASALAHAN

Masalah pokok dalam pergulaan nasional adalah rendahnya produksi akibat rendahnya produktivitas dan efisiensi industri gula nasional secara keseluruhan, dimulai dari pertanaman tebu hingga pabrik gula. Semakin menurunnya luas areal dan produktivitas tebu yang dihasilkan petani serta rendahnya produktivitas pabrik gula serta manajemen pabrik gula yang tidak efisien, adalah pemicu rendahnya produksi gula nasional.
Walaupun demikian, menurunnya produksi gula nasional bukan hanya disebabkan masalah on farm dan ketidak-efisienan pabrik-pabrik gula, tapi juga sangat dipengaruhi kondisi pasar global yang tidak adil, yang mengakibatkan tidak adanya insentif untuk berproduksi.
Rendahnya harga dunia akibat surplus pasokan serta distorsi kebijakan dari negara-negara eksportir, telah merangsang pelaku usaha di dalam negeri untuk lebih memilih membeli gula impor dibandingkan gula produksi domestic. Keadaan ini menyebabkan industry gula domestic menjadi semakin tidak berdaya menghadapi serbuan gula impor yang jauh lebih murah. Kelemahan kebijakan makro ekonomi dan strategi perdagangan regional dan internasional juga merupakan faktor yang menyebabkan, baik industry gula maupun petani tebu harus berhadapan dengan perdagangan gula internasional yang tidak adil.
Ketergantungan pada impor yang semakin meningkat, selain semakin menurunkan pertumbuhan industry gula di dalam negeri, juga merupakan salah satu ancaman terhadap kemandirian pangan Indonesia yang mempunyai penduduk yang besar dengan daya beli yang masih rendah. Mengingat Indonesia merupakan Negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang memadai dan mempunyai potensi untuk berproduksi lebih baik dari saat ini,maka perlu adanya suatu kebijakan pengembangan produksi tebu dan industry gula yang komprehensif.

TUJUAN
  1. Meningkatkan produksi dan produktivitas gula
  2. Meningkatkan pendapatan petani tebu
  3. Menciptakan kemandirian gula secara nasional.




PEMBAHASAN
  
Kebijakan Nasional
Pergulaan di Indonesia dimulai pada tahun 1673 yaitu sejak berdirinya pabrik gula tebu pertama di Batavia. Pada tahun 1930, industri gula mengalami masa kejayaan yang di tandai dengan Indonesia sebagai Negara eksportir terbesar kedua setelah Cuba. Pada tahun 1957, pemerintah menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing tersebut permaksud perusahaan gula. Sejak itu industri gula nasional semakin menurun. Pada tahun 1975, pemerintah merencanakan program Intensifikasi Tebu Rakyat (TRI) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas gula domestik. Sejalan dengan itu, pada tahun 1995, pemerintah memeberikan wewenang kepada bulog untuk mengendalikan ketersedian dan harga bahan pangan pokok termaksud gula.  Tarif bea masuk gula impor pada saat itu ditetapkan sebesar 0 (nol) persen.
Pada tahun 1997/1998, ketika terjadi resensi ekonomi, perekonomian Indonesia banyak dikendalikan oleh Internasional Moneter Fund (IMF). Sebagai salah satu persyaratan dalam Letter of Intent (LoI) IMF adalah membenaskan perdagangan pangan termaksud gula yang selama ini dipegang oleh BULOG. Untuk memenuhi tuntutan itu, maka pemerintah melakukan reformasi di bidang tataniaga gula dengan mengeluarkan Keppres No 45/11/1997 yang membatasi wewenang Bulog hanya untuk komoditas beras dan gula. Pemerintah juga mengeluarkan Inpres No 5/12/1998 tentang pengembangan tebu rakyat yang bertujuan untuk mendorong kemitraan perusahaan gula dengan petani tebu.
Pada tahun 1998, pemerintah mengeluarkan lagi Keppres No. 19/1/1998 yang membatasi wewenang Bulog hanya untuk komoditas beras. Keppres tersebut ditindak lanjuti oleh Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 25/1/1998 dan No. 505/10/1998 yang mengatur tataniaga impor gula menurut mekanisme pasar dan oleh importer umum. Di samping itu, melalui Inpres No 5/1/1998, pemerintah menghentikan program pengembangan tebu rakyat dengan alasan untuk membebaskan petani dalam memilih komoditas usahanya.
Maraknya gula impor pada tahun 1999-2000 mendorong pemerintah mengatur harga gula dan tataniaganya. Pada mulai mei 1999, pemerintah melalui Kepmenhutbun No 282/1999 menetapkan harga provenue gula sebesar Rp 2.500/kg dan menyediakan dana talangan sebesar Rp 456 milyar sebagai upaya untuk mengatasi kerugian petani tebu. Pada bulan juni 1999, Kepmenperindag No 505/1998 dicabut dengan alasan untuk menciptakan iklim perdagangan yang berorentasi pasar. Selanjutnya Menperindag mengeluarkan SK No 364/8/1999 yang kembali mengatur tataniaga gula, dimana impor gula hanya dilaksanakan oleh pabrik gula jawa sebagai impor produsen (IP) melalui perijinan. Dalam waktu 4 bulan, keputusan tersebut dicabut kembali melaui Kepmenperindag No 717/12/1999 yang memberlakukan impor gula oleh importer umum. Bersamaan dengan itu, Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan No 568/12/1999 yang memberlakukan tarif bea masuk impor sebesar 20% untuk gula tebu dan 25% untuk gula bit yang berlaku sejak 1 januari 2000.
Kebijakan-kebijakan tersebut tetap belum mampu membendung masuknya gula impor, sehingga kemudian pemerintah melalui Kepmenhutbun No 145/6/2000 meningkatkan harga provenue gula petani menjadi sebesar Rp 2.600/kg dengan menyediakan talangan sebesar Rp 859 milyar. Dana talangan tersebut hanya diberikan dalam periode dua tahun, sementara itu masih banyak gula impor yang masuk, khususnya raw sugar, melalui fasilitas keringanan bea masuk 0% yang ditetapkan SK Menkeu No 301/2000.
Sejak awal tahun 2002, harga gula dunia cenderung turun dan menyebabkan banyaknya gula impor yang masuk sehingga harga gula di tingkat petani dalam negeri tertekan. Oleh karena itu, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan-kebijkan untuk mengendalikan impor gula. Pada bulan maret 2002, pemerintah melaui SK Menperindag Nomor 141/MPP/Kep/3/2002 mengendalikan impor gula dengan hanyan mengizinkan impor gula pada Importir Terdaftar yang memiliki NIPIK dan diikuti dengan SK Menperindag No 456/6/2002 yang menegaskan bahwa hanya Importer Produsen yang dapat melakukan impor gula mentah. Dengan bertujuan untuk menjaga stabilitas harga gula didalam negeri dana untuk menyelamatkan sejumlah pabrik gula, Menteri Keuangan melalui Kepmenkeu No 324/7/2002 menetapkan tarif bea masuk impor gula menjadi Rp 550,-/kg untuk raw sugar dan Rp. 700,-/kg untuk gula putih. Upaya untuk memperketat masuknya gula impor juga didukung dengan Intruksi Dirjen Bea dan Cukai No INS-07/BC/2002 mengintruksikan bahwa beras, terigu dan gula masuk jalur merah.
Ternyata kebijakan-kebijakn tersebut juga tetap tidak dapat memperbaiki asib petani, sehingga Menperindag kembali mengeluarkan SK Nomor 643/9/2002 pada bulan September 20002 untuk mengendalikan impor dengan membatasi impor gula putih hanya dengan importir terdaftar yang bahan bakunya lebih dari 75% berasal dari petani. Beberapa perusahaan yang memenuhi syarat tersebut adalah PTPN IX,X,XI, PT.RNI, PT. PPI dan Perum Bulog (sebagai pengelola). Operasional dari kebijakan tersebut kemudian dituangkan dalam nota kesepahaman tentang penyerapan gula pasir produksi PTPN IX, X, XI dan PT. RNI, pada tanggal 3 juni 2003. Melalui kesepakatan tersebut, para petani tebu mendapat dana talangan dari investor sebesar Rp. 3.410/kg gula dan untuk selanjutnya akan menerima 64% dari selisih harga final dengan dana talangan tersebut. Jika harga yang terjadi dibawah sama dengan harga patokan, maka seluruh gula wajib dibeli Bulog dengan harga sesuai dengan patokan. Melaui cara tersebut, berkembang proses negoisasi kolektif yang melibatkan lembaga pemerintah dan swasta. Dimana Bulog menyediakan dana bagi PTPN/RNI dan bagi petani melaui PTPN/RNI yang cukup untuk meyerap sekitar 25%dan total perkiraan produksi gula PTPN/RNI sesuai dengan harga patokan. Gula dijual dengang mekanisme lelang yang disepakati bersama.
Sejalan dengan kebijakan diatas, dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri, pemerintah ,menggulirkan program akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional 2002-2007 dengan sasaran kenaikan produksi rata-rata sebesar 9,8 pertahun, sehingga diharapkan pada tahun 2007 produksi gula nasional mencapai 2,97 juta ton atau sudah mendekati kapasitas terpasang pabrik sebesar 3 juta ton pada areal pertanaman seluas 380.775 ha. Disamping itu, untuk menyikapi ketidakadilan pasar dan perdagangan internasional, pemerintah indonesia juga menerapkan kebijakan proteksi dan promosi secara simultan. Kebijakan promosi yang telah diterapkan antara lain berupa : subsidi bungan dalam KKP-TR sekitar Rp 900 milyar, subsidi pupuk sebesar Rp 1,3 triliun untu berbagai komoditas termasuk tebu, dukungan prasrana pengairan sebesar Rp 4,5 triliun, dukungan permodalan bagi koperasi tebu untuk pembongkaran ratoon, pembangunan kebun bibit, dan prasarana pengairan sederhana sebesar Rp 66,8 milyar, dan dukungan dana penyehatan lembaga penelitian dan pengembangan.
Dalam rangka meningkatkan kepastian berusaha serta meningkatkan daya saing produksi dalam negeri, tim tarif nasional melaksanakan program harmonisasi tarif tahun 2005-2010 untuk produk-produk dalam negeri. Melalui peraturan Menteri Keuangan No. 591/PMK.010/2004, tarif gula tahun 2005-2010 ditetapkan dalam pola khusus, sebesar 30 persen untuk gula mentah dan 40 persen untuk gula putih, dan melalui peraturan Menteri Keuangan No. 600/PMK.010/2004, berlaku mulai tanggal 1 januari 2005, tarif bea masuk gula putih ditetapkan menjadi sebesar Rp 790/kg dan gula mentah Rp 550/kg.


KESIMPULAN & SARAN
  
Walaupun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dipandang pro-petani, tetapi banyak pihak melihatnya sebagai kebijakan parsial (tidak komprehensif), bersifat reaktif yang dikeluarkan ketika terjadi masalah, dan kurang jelas keterkaitannya antara satu sector dengan sector lain dalam kerangka pengembangan industry gula yang efisien.
Dalam upaya peningkatan pangan nasional, khususnya  untuk komoditas gula, diperlukan kebijakan yang komprehensif yang meliputi berbagai subsistem: on-farm (hulu) maupun off-farm (hilir), agar tercapai keseimbangan kesejahteraan antara petani produsen dan konsumen. Upaya-upayayang perlu dilakukan mencakup:
A.    Subsitem Hulu
Ø  Mencari/mengembangkan bibit unggultebu yang dapat berproduksi tinggi pada lahan kering marginal, lahan gambut, dan lahan psang surut. Walaupun produktivitas tebu kita cukup baik dibandingkan dengan berbagai negaraprodusen, keunggulan bersaiang gula dimasa depan masih sangat ditentukan oleh produktivitas tebu.
Ø  Meningkatkan dan mempertahankan areal pertanaman tebu. Dengan tingkat produktivitas sebesar 5, 82 ton/ha diperlukan sekitar 600.000 ha areal tebu dengan memanfaatkan potensi lahan di luar pulau jawa, baik lahan kering maupun lahan basah.
Ø  Peningkatan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) bagi petani tebu. Fasilitasi pemerintah dalam penyediaan KKP telah banyak dinikmati petani tebu. Ke depan harus diperjuangkan peningkatan KKP tersebut.

B.     Subsistem Budidaya
Ø  Meningkatkan produktivitas lahan, melalui penggunaan bibit tebu unggul berkualitas, serta rehabilitasi/[embaharuan pertanaman tebu lama melalui bongkar ratton. Dengan luas areal tanam sekarang ini produktivitas secara bertahap harus ditingkatkan menjadi sedikitnya 90 ton tebu/ha. Sertifikasi lahan petani tebu perlu lebih ditingkatkan, agar lahan dapat berfungsi sebagai capital untuk investasi usahatani tebu.
C.     Subsistem Hilir
Ø  Peningkatan efisiensi hilir dapat dilakukan dengan merahbilitasi dan memodernisasi pabrik-pabrik gula yang telah tua. Untuk itu diperlukan kebijakan investasi bai bagi para pengusaha pabrik gula maupun petani tebu dengan memberikan kemudahan akses kepada lembaga keuangan/investor, dan keringanan pajak ipor peralatan pabrik gula.
Ø  Pengembangan industry pergulaan nasional dalam rangka pengembangan industry berbasistebu, dimana pengembangan pabrik gula dilakukan bersama-sama dengan pengembangan industry lainnya seperti alcohol, gula tetes dan lain-lain. Peranan investor sangat menentukan upaya ini.
Ø  Penentuan harga beli tebu oleh pabrik gula, yang didsarkan pada rendemen tebu petani, serta pengalokasian saprodi khusunya yang berasal dari bantuan program kemitraan (kredit kemitraan), perlu dilakukan secara jujur dan transparan.
Ø  Mengendalikan impor (bea masuk, tataniaga) dan penyelundupan gula.
Ø  Asosiasi kelompok tani tebu, perlu lebih memperjuangkan bargaining posisi petani khusunya dalam penentuan harga tebu, rendemen serta pendistribusian saprodi yang berasal dari bantuan program kemitraan pabrik gula dan petani.
Ø  Untuk melaksanakan berbagai upaya diatas, perlu dilakukan secara terkoordinasi antar berbagai sector/instansi terkait.


DAFTAR PUSTAKA


Anonymous, 2002. Studi Pengembangan Agribisnis Pergulaan Nasional. Proyek Pengembangan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan Pusat, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Jakarta
_________,2004. Luas Areal dan Produksi Gula di Indonesia Tahun 1993 – 2004, Sekretariat Dewan Gula Indonesia, Jakarta.
Bakrie, F., 2004. Kondisi Terkini Industri Gula dan Strategi Mengatasi Kendala Yang Ada, Asosiasi Gula Indonesia, Jakarta.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Tinjauan Perkembangan Industri GUla Tebu Nasional dan Kebijakannya. Sekretariat Dewan Gula Indonesia – Dirjen Perkebunan,Jakarta
Departemen Keuangan, 2004. Perubahan-Perubahan Klasifikasi dan Penetapan Kembali Tarif Bea Masuk Produk-produk Pertanian, Perikanan, Pertambangan, Farmasi, Keramik dan Besi Baja. Salinan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 600/KMK.010/2004.
Departemen Pertanian, 2004. Dua Tahun Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Jakarta.