PERMASALAHAN
Masalah pokok dalam
pergulaan nasional adalah rendahnya produksi akibat rendahnya produktivitas dan
efisiensi industri gula nasional secara keseluruhan, dimulai dari pertanaman
tebu hingga pabrik gula. Semakin menurunnya luas areal dan produktivitas tebu
yang dihasilkan petani serta rendahnya produktivitas pabrik gula serta
manajemen pabrik gula yang tidak efisien, adalah pemicu rendahnya produksi gula
nasional.
Walaupun demikian,
menurunnya produksi gula nasional bukan hanya disebabkan masalah on farm dan
ketidak-efisienan pabrik-pabrik gula, tapi juga sangat dipengaruhi kondisi
pasar global yang tidak adil, yang mengakibatkan tidak adanya insentif untuk
berproduksi.
Rendahnya harga dunia
akibat surplus pasokan serta distorsi kebijakan dari negara-negara eksportir,
telah merangsang pelaku usaha di dalam negeri untuk lebih memilih membeli gula
impor dibandingkan gula produksi domestic. Keadaan ini menyebabkan industry
gula domestic menjadi semakin tidak berdaya menghadapi serbuan gula impor yang
jauh lebih murah. Kelemahan kebijakan makro ekonomi dan strategi perdagangan
regional dan internasional juga merupakan faktor yang menyebabkan, baik
industry gula maupun petani tebu harus berhadapan dengan perdagangan gula
internasional yang tidak adil.
Ketergantungan pada
impor yang semakin meningkat, selain semakin menurunkan pertumbuhan industry
gula di dalam negeri, juga merupakan salah satu ancaman terhadap kemandirian
pangan Indonesia yang mempunyai penduduk yang besar dengan daya beli yang masih
rendah. Mengingat Indonesia merupakan Negara agraris yang memiliki sumber daya
alam yang memadai dan mempunyai potensi untuk berproduksi lebih baik dari saat
ini,maka perlu adanya suatu kebijakan pengembangan produksi tebu dan industry
gula yang komprehensif.
TUJUAN
- Meningkatkan produksi dan produktivitas
gula
- Meningkatkan pendapatan petani tebu
- Menciptakan
kemandirian gula secara nasional.
PEMBAHASAN
Kebijakan Nasional
Pergulaan di Indonesia
dimulai pada tahun 1673 yaitu sejak berdirinya pabrik gula tebu pertama di
Batavia. Pada tahun 1930, industri gula mengalami masa kejayaan yang di tandai
dengan Indonesia sebagai Negara eksportir terbesar kedua setelah Cuba. Pada tahun
1957, pemerintah menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing tersebut
permaksud perusahaan gula. Sejak itu industri gula nasional semakin menurun.
Pada tahun 1975, pemerintah merencanakan program Intensifikasi Tebu Rakyat
(TRI) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas
gula domestik. Sejalan dengan itu, pada tahun 1995, pemerintah memeberikan
wewenang kepada bulog untuk mengendalikan ketersedian dan harga bahan pangan
pokok termaksud gula. Tarif bea masuk
gula impor pada saat itu ditetapkan sebesar 0 (nol) persen.
Pada tahun 1997/1998,
ketika terjadi resensi ekonomi, perekonomian Indonesia banyak dikendalikan oleh
Internasional Moneter Fund (IMF). Sebagai salah satu persyaratan dalam Letter
of Intent (LoI) IMF adalah membenaskan perdagangan pangan termaksud gula
yang selama ini dipegang oleh BULOG. Untuk memenuhi tuntutan itu, maka
pemerintah melakukan reformasi di bidang tataniaga gula dengan mengeluarkan
Keppres No 45/11/1997 yang membatasi wewenang Bulog hanya untuk komoditas beras
dan gula. Pemerintah juga mengeluarkan Inpres No 5/12/1998 tentang pengembangan
tebu rakyat yang bertujuan untuk mendorong kemitraan perusahaan gula dengan
petani tebu.
Pada tahun 1998,
pemerintah mengeluarkan lagi Keppres No. 19/1/1998 yang membatasi wewenang
Bulog hanya untuk komoditas beras. Keppres tersebut ditindak lanjuti oleh
Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 25/1/1998 dan No. 505/10/1998 yang
mengatur tataniaga impor gula menurut mekanisme pasar dan oleh importer umum. Di
samping itu, melalui Inpres No 5/1/1998, pemerintah menghentikan program
pengembangan tebu rakyat dengan alasan untuk membebaskan petani dalam memilih
komoditas usahanya.
Maraknya gula impor
pada tahun 1999-2000 mendorong pemerintah mengatur harga gula dan tataniaganya.
Pada mulai mei 1999, pemerintah melalui Kepmenhutbun No 282/1999 menetapkan
harga provenue gula sebesar Rp 2.500/kg dan menyediakan dana talangan sebesar
Rp 456 milyar sebagai upaya untuk mengatasi kerugian petani tebu. Pada bulan
juni 1999, Kepmenperindag No 505/1998 dicabut dengan alasan untuk menciptakan
iklim perdagangan yang berorentasi pasar. Selanjutnya Menperindag mengeluarkan
SK No 364/8/1999 yang kembali mengatur tataniaga gula, dimana impor gula hanya
dilaksanakan oleh pabrik gula jawa sebagai impor produsen (IP) melalui
perijinan. Dalam waktu 4 bulan, keputusan tersebut dicabut kembali melaui
Kepmenperindag No 717/12/1999 yang memberlakukan impor gula oleh importer umum.
Bersamaan dengan itu, Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan No 568/12/1999
yang memberlakukan tarif bea masuk impor sebesar 20% untuk gula tebu dan 25%
untuk gula bit yang berlaku sejak 1 januari 2000.
Kebijakan-kebijakan
tersebut tetap belum mampu membendung masuknya gula impor, sehingga kemudian
pemerintah melalui Kepmenhutbun No 145/6/2000 meningkatkan harga provenue gula
petani menjadi sebesar Rp 2.600/kg dengan menyediakan talangan sebesar Rp 859
milyar. Dana talangan tersebut hanya diberikan dalam periode dua tahun,
sementara itu masih banyak gula impor yang masuk, khususnya raw sugar, melalui
fasilitas keringanan bea masuk 0% yang ditetapkan SK Menkeu No 301/2000.
Sejak awal tahun 2002,
harga gula dunia cenderung turun dan menyebabkan banyaknya gula impor yang
masuk sehingga harga gula di tingkat petani dalam negeri tertekan. Oleh karena
itu, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan-kebijkan untuk mengendalikan
impor gula. Pada bulan maret 2002, pemerintah melaui SK Menperindag Nomor
141/MPP/Kep/3/2002 mengendalikan impor gula dengan hanyan mengizinkan impor
gula pada Importir Terdaftar yang memiliki NIPIK dan diikuti dengan SK
Menperindag No 456/6/2002 yang menegaskan bahwa hanya Importer Produsen yang
dapat melakukan impor gula mentah. Dengan bertujuan untuk menjaga stabilitas
harga gula didalam negeri dana untuk menyelamatkan sejumlah pabrik gula,
Menteri Keuangan melalui Kepmenkeu No 324/7/2002 menetapkan tarif bea masuk
impor gula menjadi Rp 550,-/kg untuk raw sugar dan Rp. 700,-/kg untuk gula
putih. Upaya untuk memperketat masuknya gula impor juga didukung dengan
Intruksi Dirjen Bea dan Cukai No INS-07/BC/2002 mengintruksikan bahwa beras,
terigu dan gula masuk jalur merah.
Ternyata
kebijakan-kebijakn tersebut juga tetap tidak dapat memperbaiki asib petani,
sehingga Menperindag kembali mengeluarkan SK Nomor 643/9/2002 pada bulan
September 20002 untuk mengendalikan impor dengan membatasi impor gula putih
hanya dengan importir terdaftar yang bahan bakunya lebih dari 75% berasal dari
petani. Beberapa perusahaan yang memenuhi syarat tersebut adalah PTPN IX,X,XI,
PT.RNI, PT. PPI dan Perum Bulog (sebagai pengelola). Operasional dari kebijakan
tersebut kemudian dituangkan dalam nota kesepahaman tentang penyerapan gula
pasir produksi PTPN IX, X, XI dan PT. RNI, pada tanggal 3 juni 2003. Melalui
kesepakatan tersebut, para petani tebu mendapat dana talangan dari investor
sebesar Rp. 3.410/kg gula dan untuk selanjutnya akan menerima 64% dari selisih
harga final dengan dana talangan tersebut. Jika harga yang terjadi dibawah sama
dengan harga patokan, maka seluruh gula wajib dibeli Bulog dengan harga sesuai
dengan patokan. Melaui cara tersebut, berkembang proses negoisasi kolektif yang
melibatkan lembaga pemerintah dan swasta. Dimana Bulog menyediakan dana bagi
PTPN/RNI dan bagi petani melaui PTPN/RNI yang cukup untuk meyerap sekitar
25%dan total perkiraan produksi gula PTPN/RNI sesuai dengan harga patokan. Gula
dijual dengang mekanisme lelang yang disepakati bersama.
Sejalan dengan
kebijakan diatas, dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam
negeri, pemerintah ,menggulirkan program akselerasi peningkatan produktivitas
gula nasional 2002-2007 dengan sasaran kenaikan produksi rata-rata sebesar 9,8
pertahun, sehingga diharapkan pada tahun 2007 produksi gula nasional mencapai
2,97 juta ton atau sudah mendekati kapasitas terpasang pabrik sebesar 3 juta
ton pada areal pertanaman seluas 380.775 ha. Disamping itu, untuk menyikapi
ketidakadilan pasar dan perdagangan internasional, pemerintah indonesia juga
menerapkan kebijakan proteksi dan promosi secara simultan. Kebijakan promosi
yang telah diterapkan antara lain berupa : subsidi bungan dalam KKP-TR sekitar
Rp 900 milyar, subsidi pupuk sebesar Rp 1,3 triliun untu berbagai komoditas
termasuk tebu, dukungan prasrana pengairan sebesar Rp 4,5 triliun, dukungan
permodalan bagi koperasi tebu untuk pembongkaran ratoon, pembangunan kebun
bibit, dan prasarana pengairan sederhana sebesar Rp 66,8 milyar, dan dukungan
dana penyehatan lembaga penelitian dan pengembangan.
Dalam rangka meningkatkan kepastian
berusaha serta meningkatkan daya saing produksi dalam negeri, tim tarif
nasional melaksanakan program harmonisasi tarif tahun 2005-2010 untuk
produk-produk dalam negeri. Melalui peraturan Menteri Keuangan No.
591/PMK.010/2004, tarif gula tahun 2005-2010 ditetapkan dalam pola khusus,
sebesar 30 persen untuk gula mentah dan 40 persen untuk gula putih, dan melalui
peraturan Menteri Keuangan No. 600/PMK.010/2004, berlaku mulai tanggal 1
januari 2005, tarif bea masuk gula putih ditetapkan menjadi sebesar Rp 790/kg
dan gula mentah Rp 550/kg.
KESIMPULAN & SARAN
Walaupun kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah dipandang pro-petani, tetapi banyak pihak melihatnya
sebagai kebijakan parsial (tidak komprehensif), bersifat reaktif yang
dikeluarkan ketika terjadi masalah, dan kurang jelas keterkaitannya antara satu
sector dengan sector lain dalam kerangka pengembangan industry gula yang
efisien.
Dalam upaya peningkatan
pangan nasional, khususnya untuk
komoditas gula, diperlukan kebijakan yang komprehensif yang meliputi berbagai
subsistem: on-farm (hulu) maupun off-farm (hilir), agar tercapai keseimbangan
kesejahteraan antara petani produsen dan konsumen. Upaya-upayayang perlu
dilakukan mencakup:
A.
Subsitem Hulu
Ø Mencari/mengembangkan
bibit unggultebu yang dapat berproduksi tinggi pada lahan kering marginal,
lahan gambut, dan lahan psang surut. Walaupun produktivitas tebu kita cukup
baik dibandingkan dengan berbagai negaraprodusen, keunggulan bersaiang gula
dimasa depan masih sangat ditentukan oleh produktivitas tebu.
Ø Meningkatkan
dan mempertahankan areal pertanaman tebu. Dengan tingkat produktivitas sebesar
5, 82 ton/ha diperlukan sekitar 600.000 ha areal tebu dengan memanfaatkan
potensi lahan di luar pulau jawa, baik lahan kering maupun lahan basah.
Ø Peningkatan
Kredit Ketahanan Pangan (KKP) bagi petani tebu. Fasilitasi pemerintah dalam
penyediaan KKP telah banyak dinikmati petani tebu. Ke depan harus diperjuangkan
peningkatan KKP tersebut.
B.
Subsistem Budidaya
Ø Meningkatkan
produktivitas lahan, melalui penggunaan bibit tebu unggul berkualitas, serta
rehabilitasi/[embaharuan pertanaman tebu lama melalui bongkar ratton. Dengan
luas areal tanam sekarang ini produktivitas secara bertahap harus ditingkatkan
menjadi sedikitnya 90 ton tebu/ha. Sertifikasi lahan petani tebu perlu lebih
ditingkatkan, agar lahan dapat berfungsi sebagai capital untuk investasi usahatani
tebu.
C.
Subsistem Hilir
Ø Peningkatan
efisiensi hilir dapat dilakukan dengan merahbilitasi dan memodernisasi pabrik-pabrik
gula yang telah tua. Untuk itu diperlukan kebijakan investasi bai bagi para
pengusaha pabrik gula maupun petani tebu dengan memberikan kemudahan akses
kepada lembaga keuangan/investor, dan keringanan pajak ipor peralatan pabrik
gula.
Ø Pengembangan
industry pergulaan nasional dalam rangka pengembangan industry berbasistebu,
dimana pengembangan pabrik gula dilakukan bersama-sama dengan pengembangan
industry lainnya seperti alcohol, gula tetes dan lain-lain. Peranan investor
sangat menentukan upaya ini.
Ø Penentuan
harga beli tebu oleh pabrik gula, yang didsarkan pada rendemen tebu petani,
serta pengalokasian saprodi khusunya yang berasal dari bantuan program
kemitraan (kredit kemitraan), perlu dilakukan secara jujur dan transparan.
Ø Mengendalikan
impor (bea masuk, tataniaga) dan penyelundupan gula.
Ø Asosiasi
kelompok tani tebu, perlu lebih memperjuangkan bargaining posisi petani
khusunya dalam penentuan harga tebu, rendemen serta pendistribusian saprodi
yang berasal dari bantuan program kemitraan pabrik gula dan petani.
Ø Untuk
melaksanakan berbagai upaya diatas, perlu dilakukan secara terkoordinasi antar
berbagai sector/instansi terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2002. Studi
Pengembangan Agribisnis Pergulaan Nasional. Proyek Pengembangan Kawasan
Industri Masyarakat Perkebunan Pusat, Direktorat Jenderal Bina Produksi
Perkebunan, Departemen Pertanian bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Institut
Pertanian Bogor. Jakarta
_________,2004. Luas
Areal dan Produksi Gula di Indonesia Tahun 1993 – 2004, Sekretariat Dewan
Gula Indonesia, Jakarta.
Bakrie, F., 2004. Kondisi Terkini Industri Gula dan Strategi Mengatasi Kendala Yang Ada,
Asosiasi Gula Indonesia, Jakarta.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Tinjauan Perkembangan Industri GUla Tebu Nasional
dan Kebijakannya. Sekretariat Dewan Gula Indonesia – Dirjen
Perkebunan,Jakarta
Departemen Keuangan, 2004. Perubahan-Perubahan Klasifikasi dan Penetapan Kembali Tarif Bea Masuk
Produk-produk Pertanian, Perikanan, Pertambangan, Farmasi, Keramik dan Besi
Baja. Salinan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
600/KMK.010/2004.
Departemen Pertanian, 2004. Dua Tahun Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional,
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Jakarta.